pagi tadi hari Ahad 26 Julai 2015 terdengar di rancangan Mauizati di IKIM yang menampilkan ustaz Ahmad Dasuki Ab Rani berkenaan Abu Talib yang tidak beriman. Bukan kali ini ustaz yang mengajar memberitahu hal demikian namun mungkin kekeliruan ini tidak disengajakan dan kelemahan seseorang tanda keluasan ilmu Allah dan keterbatasan ilmu kita sebagai hambaNya.
Selepas membuat sedikit carian walau sudah mengetahui hakikat sebenar ialah Abu Talib mati dalam beriman menerusi pengalaman pengajian sebelum ini samada di Mesir atau di tanah air maka disalin kembali kenyataan dari artikel sebuah blog bernama Aswaja Demak yang dirasakan sesuai untuk dibaca dan dirujuk oleh pembaca.
Jika mahu dikaji sendiri sudah pasti mengambil masa maka dengan niat untuk memudahkan dan menyegerakan kebaikan ilmu maka diulang siar kembali artikel blog aswaja demak untuk pembaca nilai dan hadam apakah benar atau tidak kupasan beliau.
Baca artikel di bawah :
Abu TholibDalam
QS.Al Qoshosh 56,yang artinya:”Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”
Asbabul nuzul ayat ini menurut Ibn Katsir, yang dinukil dari shohihan (Bukhori dan Muslim) terkait dengan detik-detik wafatnya pamanda Rasulullah saw.
Dari Sa’id bin Musayyab ra.,dari bapaknya katanya ”Ketika Abu Tholib hampir meninggal dunia Rasulullah saw datang mengunjunginya, didapati beliau disana telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mighiroh. Kemudian Rasullah saw bersabda, ”wahai paman ,ucapkanlah La ila ha ilaallah, yaitu sebuah kalimat yang aku akan menjadi saksi bagi paman nanti dihadapan Allah”.Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata; ”Hai abu Tholib! Bencikah anda kepada agama Abdul Mutholib”.Rasulullah terus menerus mengulang-ulang ucapannya itu, tetapi akhirnya Abu Tholib mengatakan ”Dia tetap memegang agama Abdul Mutholib dan enggan mengucapkan la ila ha illallah. Kemudian Rasulullah SAW bersabda:”Demi Allah! Akan kumohonkan ampun bagi paman,selama aku tidak dilarang melakukannya”.Kemudian turun QS.al Qoshos 56.(Bukhori dan Muslim,Mukhtashor Ibnu Katsir,juz 3,hal.19 oleh DR.Ali Ashobunny)
Dan ada pula anggapan bahwa hadis tersebut sebagai sebab turunnya QS.at Taubah 113,namun hal ini dibantah,karena QS.at Taubah 113 tersebut termasuk madaniyyah (Ayat yang turun di Madinah), sedangkan Abu Tholib meninggal di Mekkah sebelum hijrah, jadi tidak cocok dengan fakta sejarah.(lihat,Tafsir Al Munir,li Wahbah,juz 6,hal.61).
Dari hadis ini ada anggapan bahwa Abu Tholib mati dalam kondisi kafir, Tentu anggapan tersebut belum tentu benar karena argumentasi sebagai berikut:
1. Hadis tersebut dan nash lain tidak menyebut secara manthuq (tekstual) yang jelas tentang kekufuran Abu Tholib, sehingga masih ada peluang bagi kita untuk berkhusnudzon dengan beliau. Dan itu jauh lebih selamat dan aman bagi kita.
2. Justru ada hadis dengan redaksi yang lain yang memperkuat argument pertama tersebut yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,Tirmidzi dan Al Baihaqi dari Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda kepada pamannya’”Wahai pamanku,ucapkanlah la ilaa ha illallah,niscaya aku akan bersaksi untukmu disisi Alloh pada hari Kiamat”Abu tholib menjawab,”Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan berkata,’Tidak ada yang mendorongnya mengucapkannya kecuali karena kesedihannya menghadapi maut,niscaya aku mengucapkannya untukmu”.Maka turunlah firman Allah QS.Al Qoshosh 56 itu (DR.Wahbah Zuhaily,juz 10,hal.498 dan Tafsir Ibnu Kastir,Mukhtashor,Ali ash shobuni,juz 3,hal 19)
Perhatikanlah! Abu Tholib enggan mengucapkan kalimat syahadat bukan karena tidak beriman dengan kalimat tersebut, namun karena taqqiyah (strategi membela diri dengan menyembunyikan keimanannya) agar terhindar dari celaan orang Quraisy yang menganggapnya masuk Islam karena mau mati saja. Padahal hakekatnya dibatin beliau telah menerima keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini dibuktikan dalam tarikh/sejarah ketika Abu Tholib mengajak Nabi pada saat umur 9 tahun ke Syam dan bertemu pendeta/ rahib Bahira yang melihat tanda kenabiannya dan hal itu disampaikan ke Abu Tholib agar berhati-hati karena orang-orang yahudi tidak menyukai hal itu (Zaadul Maa’ad,juz 1,hal.37). Sejak itu pasti beliau menerima kenabian yang dibawa rasul saw (keponakannya sendiri) , Karena bagaimana mungkin beliau dianggap kafir atau musrik padahal beliau merahasiakan kenabian Muhammad dari musuh-musuhnya?? Mungkin ada yang menjawab; ‘Dirahasiakannya karena dia menyayangi keponakannya itu’, namun itu dapat dibantah dengan Abu Lahab yang juga pamannya dan juga menyanginya, kenapa menentangnya? Renungkan wahai manusia yang beriman !!
Dan telah berkata al Zajjaj ; “Telah sepakat ummat islam bahwa ayat 56 dari al Qoshosh itu turun terkait pada Abu Tholib.Yang ketika itu beliau berkata disaat jelang kematiannya (kepada orang-orang Quraish) : ‘Wahai masyarakat bani abdi Manaf,ta’atlah kalian dan benarkan (shoddiquuhu) oleh kalian ajaran Muhammad!, maka kalian akan sukses dan mendapatkan petunjuk’.Maka bersabda Nabi saw : “Wahai pamanku,engkau menasehati mereka dan engkau meninggalkan dirimu? ”.Berkata abu Tholib :’Maka apa yang kamu inginkan wahai keponakanku?’.
Bersabda Nabi saw: “saya menginginkan darimu hanya satu kalimat saja agar di akhir hidupmu ini di dunia hendaknya dengan berkata ‘la ilaaha illallah’,dan dengan kalimat itu saya akan bersaksi di sisi Alloh swt {kelak dikemudian hari}”.Berkata Abu Tholib:’Wahai keponakanku,sungguh saya tahu kalau [ajaran]mu benar,namun saya enggan dikatakan[kalau mengucapkan kalimat tersebut,] sebagai kesedihan saja dalam menghadapi kematian. Kalau sendainya [setelah mengucapkan kalimat tersebut] tidak terjadi pada dirimu dan bani ayahmu penghinaan dan celaan paska kematianku, sungguh aku akan mengatakan itu dihadapanmu ketika aku berpisah[mati],ketika aku lihat besarnya rasa cintamu dan nasehatmu.Namun sepertinya saya akan mati di atas agama abdul Muthollib, Hasim dan abdu Manaf.[Tafsir Al Munir,Wahbah juz 10 ,hal 499-500].
Tidak sulit untuk dibayangkan,seumpama ketika itu Abu Tholib memeluk islam dengan cara seperti yang dilakukan Oleh Hamzah,Abu Bakar,Umar dan Usman radliyallohu ‘anhum,tentu ia tidak akan dapat memberi perlindungan dan pembelaan kepada Rasululloh saw.Karena kaum musyrikin quraish pasti memandangnya sebagai musuh, bukan sebagai pemimpin masyarakat Mekkah yang harus dihormati dan disegani. Jika demikian tentu ia tidak mempunyai lagi kewibawaan untuk menumpulkan atau menekan perlawanan mereka terhadap Rasulullah saw,dan juga tidak dapat membentengi dakwah beliau.Memang benar ,pada lahirnya Abu Tholib nampak seagama dengan mereka, tetapi apa yang ada di dalam batinnya tentu hanya Allahh yang tahu. Karena itu jangan ceroboh menuduhnya musyrik.
3. Bagaimana mungkin beliau dikatakan seorang yang kafir,padahal beliaulah yang membela dakwah Nabi saw dengan jiwa dan hartanya. Dan bagaimana pula beliau disamakan dengan orang kafir quraish yang selalu menentang dan mengintimidasi Nabi saw, padahal Abu Tholib melakukan sebaliknya.
4. Adapun QS Al Qoshosh 56,itu terkait bahwa nabi saw tidak dapat memaksakan kehendak berhidayahnya seseorang sekalipun kepada yang dicintai.Karena kewenangan memberikan hidayah taufiq hanya Alloh swt.Seolah ayat tersebut menginfokan kepada Nabi saw bahwa hidayah pamannya itu adalah berada dalam urusan Allah. Dan tidak ada dari dhohirnya ayat tersebut yang menunjukkan kepada kufurnya Abu Tholib.
5. Perkara ini adalah khilafiyah atau terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahlus sunnah sendiri. Maka seyogjanya kita mengambil pendapat yang tidak berefek madhorrot bagi aqidah kita atau minimal mengambil pendapat yang efek madhorrotnya paling ringan.Dan pendapat yang paling ringan adalah menganggap Abu Tholib seorang paman Nabi yang tidak masuk kafir,karena minimal itu dapat menjadi sikap husnuzhon kita atas beliau.Namun jika kita mengatakan beliau kafir,dan seandainya disisi Alloh beliau ternyata mukmin maka kita sudah terkena dosa fitnah atas tuduhan kekufuran kepadanya dan itu madhorrot yang besar dalam aqidah kita.Oleh karena itu lebih baik bagi kita adalah berhusnuzhon saja karena tidak ada gunanya bagi kita untuk mengkafirkan beliau.
Di sisi lain,kalaupun-seandainya- tidak ada perbedaan pendapat ulama menyangkut keislaman Abu Thalib dan semua sepakat menyatakan keengganannya beriman,namun karena hal tersebut pasti menyedihkan Nabi Muhammad saw,maka demi menjaga perasaan beliauserta mengingat jasa-jasa Abu Thalib kepada Nabi saw,maka hendaknya persoalan itu tidak dibahas secara panjang lebar,apalagi ayat diatas(at taubah 113 dan al Qoshosh 56) berbicara secara umum.dan dapat mencakup siapapun dan kapanpun.
Sayyid Muhammad Rasyid dalam Tafsir Al Manar menguraikan pendapat sementara ulama tentang hadis Nabi saw. Yang menyatakan :”Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri,niscaya pasti kupotong tangannya”(HR.Bukhari dan Muslim melalui ‘Aisyah ra).Menurutnya ada ulama yang enggan menyebut Fathimah dalam riwayat ini,dan menggantinya dengan kata Fulanah (si A) atas pertimbangan bahwa perasaan Nabi akan tersinggung bila orang lain menyebut nama putri beliau sebagai contoh untuk sesuatu yang buruk. Demikian kesimpulan dari pesan bijak DR.Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah.
Dan ada kata bijak lainnya yang patut direnungkan ; “Menuduh orang kafir sebagai mukmin tidaklah berdosa,namun menuduh orang mukmin sebagai orang yang kafir dan musyrik adalah dosa besar.”
Asbabul nuzul ayat ini menurut Ibn Katsir, yang dinukil dari shohihan (Bukhori dan Muslim) terkait dengan detik-detik wafatnya pamanda Rasulullah saw.
Dari Sa’id bin Musayyab ra.,dari bapaknya katanya ”Ketika Abu Tholib hampir meninggal dunia Rasulullah saw datang mengunjunginya, didapati beliau disana telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mighiroh. Kemudian Rasullah saw bersabda, ”wahai paman ,ucapkanlah La ila ha ilaallah, yaitu sebuah kalimat yang aku akan menjadi saksi bagi paman nanti dihadapan Allah”.Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata; ”Hai abu Tholib! Bencikah anda kepada agama Abdul Mutholib”.Rasulullah terus menerus mengulang-ulang ucapannya itu, tetapi akhirnya Abu Tholib mengatakan ”Dia tetap memegang agama Abdul Mutholib dan enggan mengucapkan la ila ha illallah. Kemudian Rasulullah SAW bersabda:”Demi Allah! Akan kumohonkan ampun bagi paman,selama aku tidak dilarang melakukannya”.Kemudian turun QS.al Qoshos 56.(Bukhori dan Muslim,Mukhtashor Ibnu Katsir,juz 3,hal.19 oleh DR.Ali Ashobunny)
Dan ada pula anggapan bahwa hadis tersebut sebagai sebab turunnya QS.at Taubah 113,namun hal ini dibantah,karena QS.at Taubah 113 tersebut termasuk madaniyyah (Ayat yang turun di Madinah), sedangkan Abu Tholib meninggal di Mekkah sebelum hijrah, jadi tidak cocok dengan fakta sejarah.(lihat,Tafsir Al Munir,li Wahbah,juz 6,hal.61).
Dari hadis ini ada anggapan bahwa Abu Tholib mati dalam kondisi kafir, Tentu anggapan tersebut belum tentu benar karena argumentasi sebagai berikut:
1. Hadis tersebut dan nash lain tidak menyebut secara manthuq (tekstual) yang jelas tentang kekufuran Abu Tholib, sehingga masih ada peluang bagi kita untuk berkhusnudzon dengan beliau. Dan itu jauh lebih selamat dan aman bagi kita.
2. Justru ada hadis dengan redaksi yang lain yang memperkuat argument pertama tersebut yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,Tirmidzi dan Al Baihaqi dari Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda kepada pamannya’”Wahai pamanku,ucapkanlah la ilaa ha illallah,niscaya aku akan bersaksi untukmu disisi Alloh pada hari Kiamat”Abu tholib menjawab,”Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan berkata,’Tidak ada yang mendorongnya mengucapkannya kecuali karena kesedihannya menghadapi maut,niscaya aku mengucapkannya untukmu”.Maka turunlah firman Allah QS.Al Qoshosh 56 itu (DR.Wahbah Zuhaily,juz 10,hal.498 dan Tafsir Ibnu Kastir,Mukhtashor,Ali ash shobuni,juz 3,hal 19)
Perhatikanlah! Abu Tholib enggan mengucapkan kalimat syahadat bukan karena tidak beriman dengan kalimat tersebut, namun karena taqqiyah (strategi membela diri dengan menyembunyikan keimanannya) agar terhindar dari celaan orang Quraisy yang menganggapnya masuk Islam karena mau mati saja. Padahal hakekatnya dibatin beliau telah menerima keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini dibuktikan dalam tarikh/sejarah ketika Abu Tholib mengajak Nabi pada saat umur 9 tahun ke Syam dan bertemu pendeta/ rahib Bahira yang melihat tanda kenabiannya dan hal itu disampaikan ke Abu Tholib agar berhati-hati karena orang-orang yahudi tidak menyukai hal itu (Zaadul Maa’ad,juz 1,hal.37). Sejak itu pasti beliau menerima kenabian yang dibawa rasul saw (keponakannya sendiri) , Karena bagaimana mungkin beliau dianggap kafir atau musrik padahal beliau merahasiakan kenabian Muhammad dari musuh-musuhnya?? Mungkin ada yang menjawab; ‘Dirahasiakannya karena dia menyayangi keponakannya itu’, namun itu dapat dibantah dengan Abu Lahab yang juga pamannya dan juga menyanginya, kenapa menentangnya? Renungkan wahai manusia yang beriman !!
Dan telah berkata al Zajjaj ; “Telah sepakat ummat islam bahwa ayat 56 dari al Qoshosh itu turun terkait pada Abu Tholib.Yang ketika itu beliau berkata disaat jelang kematiannya (kepada orang-orang Quraish) : ‘Wahai masyarakat bani abdi Manaf,ta’atlah kalian dan benarkan (shoddiquuhu) oleh kalian ajaran Muhammad!, maka kalian akan sukses dan mendapatkan petunjuk’.Maka bersabda Nabi saw : “Wahai pamanku,engkau menasehati mereka dan engkau meninggalkan dirimu? ”.Berkata abu Tholib :’Maka apa yang kamu inginkan wahai keponakanku?’.
Bersabda Nabi saw: “saya menginginkan darimu hanya satu kalimat saja agar di akhir hidupmu ini di dunia hendaknya dengan berkata ‘la ilaaha illallah’,dan dengan kalimat itu saya akan bersaksi di sisi Alloh swt {kelak dikemudian hari}”.Berkata Abu Tholib:’Wahai keponakanku,sungguh saya tahu kalau [ajaran]mu benar,namun saya enggan dikatakan[kalau mengucapkan kalimat tersebut,] sebagai kesedihan saja dalam menghadapi kematian. Kalau sendainya [setelah mengucapkan kalimat tersebut] tidak terjadi pada dirimu dan bani ayahmu penghinaan dan celaan paska kematianku, sungguh aku akan mengatakan itu dihadapanmu ketika aku berpisah[mati],ketika aku lihat besarnya rasa cintamu dan nasehatmu.Namun sepertinya saya akan mati di atas agama abdul Muthollib, Hasim dan abdu Manaf.[Tafsir Al Munir,Wahbah juz 10 ,hal 499-500].
Tidak sulit untuk dibayangkan,seumpama ketika itu Abu Tholib memeluk islam dengan cara seperti yang dilakukan Oleh Hamzah,Abu Bakar,Umar dan Usman radliyallohu ‘anhum,tentu ia tidak akan dapat memberi perlindungan dan pembelaan kepada Rasululloh saw.Karena kaum musyrikin quraish pasti memandangnya sebagai musuh, bukan sebagai pemimpin masyarakat Mekkah yang harus dihormati dan disegani. Jika demikian tentu ia tidak mempunyai lagi kewibawaan untuk menumpulkan atau menekan perlawanan mereka terhadap Rasulullah saw,dan juga tidak dapat membentengi dakwah beliau.Memang benar ,pada lahirnya Abu Tholib nampak seagama dengan mereka, tetapi apa yang ada di dalam batinnya tentu hanya Allahh yang tahu. Karena itu jangan ceroboh menuduhnya musyrik.
3. Bagaimana mungkin beliau dikatakan seorang yang kafir,padahal beliaulah yang membela dakwah Nabi saw dengan jiwa dan hartanya. Dan bagaimana pula beliau disamakan dengan orang kafir quraish yang selalu menentang dan mengintimidasi Nabi saw, padahal Abu Tholib melakukan sebaliknya.
4. Adapun QS Al Qoshosh 56,itu terkait bahwa nabi saw tidak dapat memaksakan kehendak berhidayahnya seseorang sekalipun kepada yang dicintai.Karena kewenangan memberikan hidayah taufiq hanya Alloh swt.Seolah ayat tersebut menginfokan kepada Nabi saw bahwa hidayah pamannya itu adalah berada dalam urusan Allah. Dan tidak ada dari dhohirnya ayat tersebut yang menunjukkan kepada kufurnya Abu Tholib.
5. Perkara ini adalah khilafiyah atau terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahlus sunnah sendiri. Maka seyogjanya kita mengambil pendapat yang tidak berefek madhorrot bagi aqidah kita atau minimal mengambil pendapat yang efek madhorrotnya paling ringan.Dan pendapat yang paling ringan adalah menganggap Abu Tholib seorang paman Nabi yang tidak masuk kafir,karena minimal itu dapat menjadi sikap husnuzhon kita atas beliau.Namun jika kita mengatakan beliau kafir,dan seandainya disisi Alloh beliau ternyata mukmin maka kita sudah terkena dosa fitnah atas tuduhan kekufuran kepadanya dan itu madhorrot yang besar dalam aqidah kita.Oleh karena itu lebih baik bagi kita adalah berhusnuzhon saja karena tidak ada gunanya bagi kita untuk mengkafirkan beliau.
Di sisi lain,kalaupun-seandainya- tidak ada perbedaan pendapat ulama menyangkut keislaman Abu Thalib dan semua sepakat menyatakan keengganannya beriman,namun karena hal tersebut pasti menyedihkan Nabi Muhammad saw,maka demi menjaga perasaan beliauserta mengingat jasa-jasa Abu Thalib kepada Nabi saw,maka hendaknya persoalan itu tidak dibahas secara panjang lebar,apalagi ayat diatas(at taubah 113 dan al Qoshosh 56) berbicara secara umum.dan dapat mencakup siapapun dan kapanpun.
Sayyid Muhammad Rasyid dalam Tafsir Al Manar menguraikan pendapat sementara ulama tentang hadis Nabi saw. Yang menyatakan :”Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri,niscaya pasti kupotong tangannya”(HR.Bukhari dan Muslim melalui ‘Aisyah ra).Menurutnya ada ulama yang enggan menyebut Fathimah dalam riwayat ini,dan menggantinya dengan kata Fulanah (si A) atas pertimbangan bahwa perasaan Nabi akan tersinggung bila orang lain menyebut nama putri beliau sebagai contoh untuk sesuatu yang buruk. Demikian kesimpulan dari pesan bijak DR.Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah.
Dan ada kata bijak lainnya yang patut direnungkan ; “Menuduh orang kafir sebagai mukmin tidaklah berdosa,namun menuduh orang mukmin sebagai orang yang kafir dan musyrik adalah dosa besar.”
sumber dari :
http://aswajademak.blogspot.com/2013/07/nabi-muhammad-saw-adalah-penghuni-bumi.htmln
Tiada ulasan:
Catat Ulasan